Kamis, 09 Januari 2014

Jaket Lucu Couple

Korean Coat Couple
deskripsi:
Bahan Adidas
size S,M,L,XL,XXL,XXXL
request warna
boleh order satuan
grosir lebih murah
reseller welcome
info harga&pemesanan
085723056545/2ae2d152

Rabu, 15 Februari 2012

7 Februari nan Indah


Kau ingin tahu bagaimana rasanya duduk kurang lebih 4,5 jam di stasiun kereta api, dan menatap lalu lalang pergi dan datangnya kereta api dari dan menuju berbagai jurusan. Exactly, amazing...! sejak dahulu mungkin aku memang tergila-gila pada kereta api, sebodo mau kelas ekonomi, eksekutif, ataupun bisnis. Tapi karena aku termasuk dalam golongan bangsa proletar, jadi cukup lebih nyaman dengan kereta ekonomi. Hehe.. J
Cerita pun kembali bermula...
Di Selasa luar biasa, tepat tanggal 7 februari 2011. Aku memulai petuangan—tepatnya berkeinginan untuk memulai petualangan. Pagi yang dingin di kota Sukabumi, jarum jam menunjukkan pukul 03.00 WIB, rumah sudah menghangat. Ummi bangun paling pertama, lalu langsung sigap bergerak mengomando kami—aku, dan kakakku fita. Kami bersiap menuju satu cita, aku dan fita berniat untuk berangkat ke rumah nenek di Banyuwangi. Biar kuceritakan terlebih dahulu di mana kira-kira letak kota Banyuwangi tersebut. Banyuwangi adalah kota paling timur dari pulau Jawa, ia adalah kota penghabisan. Dan tinggalah kau menyeberang selat Bali apabila ingin menuju pulau dewata tersebut. Jarak Sukabumi-Banyuwangi sekitar 6.666 KM, dicapai sekitar 2 hari 1 malam. Jadi andaikan kau berangkat hari ini pagi maka kau akan sampai kota Banyuwangi sore keesokan harinya. Tentulah bukan perjalanan yang mudah bagi kami (perempuan dua-duanya) menggunakan kendaraan yang kusebut milik kaum proletar tadi. Tapi semua itu tak menyurutkan niatku meski seujung kuku. Malah semakin anganku membayangkan perjalanan yang exited, keren, penuh petualangan.
Dengan menggunakan kereta, kami tidak serta merta sampai ditujuan sekaligus (pastinya nyambung-nyambung). Pertama kami akan menggunakan kereta Sukabumi—Bogor, lalu Bogor—Jakarta Kota, lalu Jakarta—Surabaya, terakhir Surabaya—Banyuwangi. Sampailah di rumah nenek tercinta. Dan memang kamilah mungkin sebaik-baik perencana, tetapi Allah jualah yang menentukan.
Keberangkatan kami dari stasiun Cisaat tepat setelah sholat Shubuh. Ummi sudah seperti kepiting, merah mukanya saking bersemangat menyiapkan semua keperluan kami. Kuakui, aku sama sekali tidak menyiapkan apa-apa, bahkan packing barang sendiri pun dilakukan oleh Fita. Ummi menyiapkan makanan kami, minum, obat-obatan, chargeran HP, bahkan hingga kaus kaki—tipikal emak-emak repot JV.
Tibalah keberangkatan, ummi melepas seperti biasanya, setelah aku meraih tangannya dan menciumnya ummi akan meraih wajahku mencium kedua belah pipi dan ubun-ubunku. Kebiasaan yang akan menyeruakkan haru di dada. Aku melambaikan tangan. Berdadah-dadah.
Kereta pertama pukul 5 pagi, bergerak dengan ayunan seirama. Aku benar-benar menikmati, kupikir-pikir sudah sekitar 2,5 tahun aku tidak naik kereta. Dan sekarang kembali menaikinya, kenikmatan yang patut disyukuri bukan begitu?
Singkat cerita kami sampai di stasiun Jakarta, langsung menuju loket membeli tiket kereta bangsa proletar, ternyata aku langsung mendapatkan kejutan: semua tiket kereta bangsa proletar habis. Tidaaakk... aku geleng-geleng kepala, benarkah demikian? Setelah usut punya usut, tanya sana-sini, kasak-kusuk, diketahuilah bahwa sekarang pemesanan tiket harus jauh-jauh hari, apabila tidak jauh-jauh hari maka tiket akan habis. Perapihan administrasi dan pelayanan PJKA. Lemaslah lutut kami. Batal berangkat? Yaah... mengecewakan.
Setelah tanya sana-sini, kami dapatkan informasi untuk mengejar tiket kelas bisnis di stasiun Senen, barangkali masih ada, mungkin bisa dikejar. Secercah harapan bagi kami, maka melesatlah kami menuju stasiun Senen. Tapi mungkin sudah ketentuan Allah aku tidak berangkat, di perjalanan dari stasiun Jakarta Kota ke stasiun Senen aku menerima beberapa SMS, salah satunya adalah mengenai kelanjutan akademikku—status heregistrasiku yang belum terbayar membuat beberapa pihak menyarankan untuk segera mengurus di kampus. Aku lemas, ini tidak seperti dugaanku.
Akhirnya, dengan patah-patah kujelaskan pada Fita, bahwa esok hari aku harus balik ke kampus. Fita kala dikabari demikian, dia termangu. Sungguh sedih apabila hanya jadi berangkat sendiri. Aku membesarkan hatinya, daripada tidak ada yang berangkat sama sekali, mending salah satu diantaranya berangkat. Kudorong dia agar mau. Kakakku sebenarnya bukan tipikal penakut, ia pernah menjelajahi kuningan—surabaya sendiri. Yah, memang mental-mental kami, anak-anak abi dan ummi memang mental-mental fantasyiru fil ardh. Tapi, tak dapat disangkal ia agak ragu, liburan kali ini tak akan berjalan mulus apabila hanya dilalui sendiri tanpa aku, adiknya. “trip alone, o my God...” lirihnya sampai ke telingaku.
Sesampai di stasiun Senen, kami langsung menuju loket, menanyakan ketersediaan tiket kereta bisnis Gumarang, dengan hati harap dan cemas. Ternyata ada... alhamdulillah, syukurku. Kami tanyakan kapan kereta berangkat dan tiba di Surabaya, ternyata sang kereta baru datang jam 18.00 dan tiba di stasiun Pasar Turi-Surabaya pukul 06.00. wooow, kulirik jam, kini baru jam 13 lewat sedikit. Aku geleng-geleng kepala, menunggu hampir 5 jam di sini? Setidaknya aku harus melihat keadaan Fita di kereta itu (meski keretanya oke, tetep aja musti aku cek). Fita sebenarnya oke saja aku tinggalkan pulang, tapi aku tidak tega.
Akhirnya cerita indah ini pun terjadi. Menunggu di tepian jalur 1 stasiun Senen. Ada hampir 30 lebih kereta datang dan pergi selama aku di sana. Dari kereta terbagus executive express, Commuter Line, hingga ekonomi kelas teri yang asli berdesak-desakkan, aku geleng-geleng kepala. Puas sekali aku di sana, menikmati angin kotor stasiun di tengah kota Jakarta, menerbangkan debu-debu kehidupan. Ini asli, tentang cerita anak manusia. Ada ibu-ibu dengan anak-anaknya, seorang pemuda dengan ibunya (yang ini agak perlente), seorang ayah dengan barang di punggungnya, dan tentu saja para karyawan yang begitu banyak kulihat (iyalah, sore hari begini mereka keluar dari kantornya masing-masing dan pulang menuju Bogor biasanya).
Aku kenyang sekali melihat keadaan realitas ini. Itulah kukatakan aku begitu menyukai melihat keadaan asli kehidupan di tengah kota, menampakkan semua sisi kehidupan manusia-manusia dengan karakteristik mereka, dengan kesibukan mereka masing-masing. Really-really inspiring...! akan tetapi, memang setiap ibroh dan hikmah tidak semua orang dapat mengambilnya. Ia adalah bagian dari kepekaan hati, kemampuan merasakan, tidak sekedar melihat tapi ia melibatkan perasaan terdalam dari jiwa kita. Hehe, mendadak puitis. Tapi memang begitulah buah dari keadaan yang mengharuskan kita lebih merasakan tentang penderitaan rakyat kecil, yang bahkan untuk mendapatkan fasilitas sedikit kemudahan saja demikian sulit. Bedakan dengan para borjuis yang boro-boro sadar dengan keadaan rakyat kecil, menyadari bahwa jumlah rakyat Indonesia di bawah garis kemiskinan saja tidak.
Dan di sinilah aku. Bagian dari anak bangsa yang mencoba untuk peduli. Walau aku belum tahu seutuhnya apa yang harus dilakukan untuk memperbaiki keadaan kacau bangsa ini. Tapi dengan lebih dini melek dan sadar akan keadaan bangsa ini mungkin akan membangun jiwa dengan kepekaan yang lebih tinggi. Itulah yang kuharapkan.
Jam 18.00 menjelang, Fita sudah ambil air wudhu, dia sholat di atas kereta nanti. Aku mengantarnya menuju nomor kursi yang tertera di karcisnya. Mendapati seorang ibu di sampingnya, aku agak lega. Semoga perjalanannya lebih nyaman. Kereta tak berhenti lama, hanya sekitar 5 menit, aku turun. Malambai-lambaikan tangan, menahan sesak di dada. Aku tahu, Fita pun tengah menahan perasaannya. Semoga engkau baik-baik di sana. J
Cerita berakhir dengan melangkahnya kakiku menaiki Commuter Line tujuan akhir Bogor, lalu dilanjutkan menuju Sukabumi. Yippi, Allah Maha Tahu yang terbaik. Kusiapkan tenagaku, esok subuhnya aku musti pergi ke bumi Jihad Jatinangor. How bussy...
Semoga Allah mudahkan... J

Selasa, 13 Desember 2011

Buang Orang Di Jalan Tol, Siapa Takut?


                Cerita pun bermula, satu hari terik nan panas di kota Sukabumi. Adzan Dzuhur berkumandang keras dari microphone masjid belakang rumah (secara masjid perumahan, suaranya membahanananaaa... J), saya bersiaga untuk sholat dzuhur tak lupa jamak dengan ashar (mau bepergian) mana tahu sampai ditujuan tidak kebagian waktu untuk sholat ashar.
                Waktunya pamitan,
Saya      : ummi, abi, anakmu pergi kembali untuk mencari ilmu... doakan selalu. Mohon doa restu UAS menanti di depan mata, lalu dilanjutkan dengan KKN.
Abi        : (mengangguk-ngangguk) ya nak...
Ummi   : ummi mana yang tidak mendoakan anaknya nak... apalagi raganya jauh dari ummi, pastilah ummi doakan, setiap sholat, setiap pagi, sore, bahkan setiap ummi ingat kamu... (lalu mengecup kedua belah pipiku dan ubun-ubunku)
Saya      : (menahan tangis di penghujung mata, *hampir meledak dong...) oke mi, mudah-mudahan diri ini bisa menjadi anak yang membanggakan suatu saat kelak...
Ummi   : ammiin... hati-hati di jalan ya...
Saya      : oke mi... bye bye... assalamu’alaikuuum... berangkat...!!
                Nangkring di belakang motor abi (dianter abi sampe nemu bis ke Bandung) saya memikirkan kata-kata ummi tadi. Selama 3 hari di rumah, saya selalu merasakan ada banyak energi yang bisa diserap sebanyak-banyaknya dari para penghuni rumah. Terutama siapa lagi kalau bukan my lovely mum... cintanya seakan tak pernah habis. Ribuan, jutaan, milyaran (weitsss... agak lebai dikit) rasanya siap ia berikan untuk anak-anaknya. Meski saya tahu, beliau tengah lelah, tengah sakit, tengah benyak pikiran... tapi itulah, ia masih mempersiapkan senyum lebar saat melepas saya. Masih menyediakan jutaan semangat, masih memberikan nasehat-nasehat pelapang dada. Ah... alangkah beruntungnya.
                Lalu, tibalah waktu berpamitan dengan abi. Abi seperti biasa, tidak banyak berbicara. Tapi saya tahu hatinya ramai bicara. Kulihat matanya, sayu penuh harap menatap anaknya (di bagian ini saya kembali ingin menangis). Ah, abi jauh lebih hero di banding hero-hero yang ada di masa sekarang. Tulus, dalam diam penuh cinta untuk kami.
                Bis melaju, menyisakan debu dibalik bayangan punggung abi, bye bye my hero... doakan saya selalu... :’(
Singkat cerita...
                Saya hampir sampai di gerbang tol Padalarang. Saatnya bersiap-siap untuk ganti bis. Saya terngiang-ngiang perkataan ummi sebelum berangkat tadi. “naik Medal Siliwang aja, nanti bisa langsung ke Jatinangor...”
                Memang rizki tidak akan kemana, bis Sangkuriang yang saya tumpangi berhenti tepat di samping Medal Siliwangi yang diidam-idamkan tadi. Tanpa pikir panjang, saya langsung naik bis tersebut setelah turun dari Sangkuriang. Saya berusaha tenang meski seisi bis hampir ¾ isinya adalah bapak-bapak. Koq bisa ya, batin saya dalam hati. Tapi keep it slow, saya tenang-tenang saja.
                Tak berapa lama bis mulai berjalan memasuki jalan tol. Sekilas saya membaca papan aturan penggunaan jalan tol bagi para pengendara, dilarang membuang segala bentuk barang di jalan tol. Saya mengangguk-ngangguk memikirkan kalimat tersebut, ya iyalah pantas saja jalan tol senantiasa bersih, rapi, dan tertata.
                Sekitar 10 menit kemudian, sang kondektur mulai menagih ongkos para penumpang. Saya kebetulan duduk paling belakang, dan kondektur mulai menagih dari belakang. Saat tiba giliran saya memberi uang (membayar maksudnya) saya bertanya “jatinangor berapa pak?”
                Sang kondektur memasang tampang kaget, saraya berkata “neng mau ke Jatinangor? Salah bis atuh, ini mah mau ke Jakarta...” serentak saya jantungan (wiih,,, maksudnya adrenalin langsung bekerja, darah mengalir deras dipompakan dari jantung yang berdebum-debum bunyinya, lalu disusul dengan keringat yang tiba-tiba muncrat... *lebaaayyy)
                Saya setengah mati kaget “oiyaaaaa???!!! Ottokhaeee....” tanpa sadar saya berteriak.
                Mang kondektur : “si eneng mah kumaha, tadi ga nanya dulu sih, sudah sana ke depan, bilang sama sopir!”
                Saya : (malu, blushing, deg-degan, dsb, berjalan kedepan, menuju sopir bis) “pak saya mau ke Jatinangor, salah bis... saya kira ini ke Jatinangor”
                Seisi bis riuh, ada ibu-ibu yang langsung komentar : “wah gimana neng, koq bisa sampai salah gitu sih...”
                Saya : (pasrah...)
                Sopir : “wah gimana neng, ini udah di jalan tol...”
                Saya : “pliiisss pak, jangan bawa saya ke Jakarta...”
                Sopir : “ya sudah, nanti di depan ada gerbang tol Cikamuning, neng turun aja di situ, tapi ntar jalan keluar lumayan jauh. Setelah itu cari angkot balik lagi ke Padalarang. Yah, daripada ikut ke Jakarta, neng mau...?” (sambil pasang wajah datar, ya iyalah sopirnya sedang fokus menatap datar ke jalan tol di depan mukanya)
                Saya : (gemeteran) “yang bener pak turun di tol?”
                Sopir : “ya trus mau gimana?”
                Ya sudahlah batin saya, nasip-nasip... teringat plang aturan sebelum masuk gerbang tol tadi, dilarang membuang barang dalam bentuk apapun di jalan tol. Berarti ini sopir sudah melanggar aturan, membuang saya di jalan tol (saya juga barang kan? Memenuhi ruang dan waktu begitu kalau kata orang fisika).  Ya sudahlah, daripada di bawa ke Jakarta? Bisa ga jadi ujian saya nanti (mau UAS bu...).
                Tak lama gerbang tol Cikamuning nampak di depan mata, saya bersiap turun. Saat pintu bis dibuka, saya turun sambil menatap mang kondektur yang membukakan pintu bis, alangkah teganya... membuang seorang penumpangnya di tengah jalan tol, perempuan pula. Saya menghapus keraguan yang sempat menggumpal di dada.
                Kemudian saya berjalan keluar tol, saya melihat petugas tol menatap saya denga heran, tapi karena sibuk menerima uang retribusi tol jadi mana sempat bertanya mungkin. Saya berjalan terus, sepi, hanya beberapa truk yang keluar dari tol ini melalui gerbang Cikamuning. Angin sore menampar-nampar pipi, kulihat jam menunjukkan pukul 17.05, beruntunglah tadi sudah menjamak sholat. Bagaimana tidak, sepertinya perjalananku masih jauh.  Beberapa langkah dari gerbang tol Cikamuning, saya tertegun, alamaaakkk... jauh pisan. Nampak jalan mengular di tengah-tengah sawah, tidak tahu ujungnya dimana. Tidak tahu pula saya harus bertemu angkot kuning yang tadi ditunjukkan sopir bis dimana. Ottokhaeee.... ummiiii, tak sadar bibirku mengeluh.
                “Astaghfirullah...” saya berusaha tenang, banyak-banyak istighfar, insyaAllah pertolongan Allah dekat, Batin saya. Dan benar saja, tak lama saya berjalan sebuah truk pengangkut barang (tronton lebih tepatnya), nampaklewat di samping saya baru keluar dari gerbang tol. Lalu penumpang di depannya (saya tebak mungkin pegawai yang biasa mengiringi sopir tronton) menyembulkan kepalanya dan berseru “neng, mau kemana...? hayu ikut...!”
                Takut-takut saya menatapnya, ya Allah ini pertolongan atau permasalahan baru. Bagaimana tidak, yang saya pahami abang-abang sopir truk besar itu biasanya bringasan, jarang mandi, tidak pernah sholat, tukang mabuk, dsb yang jelek-jelek. Tapi saya menabah-nabahkan diri sambil berdoa, ya Rabb jaga saya, mudah-mudahan ini adalah sebentuk pertolonganMu...
                Saya berujar, setengah bergumam “bb... bboleh naik gitu bang?”
                Abangnya seperti tidak mendengar perkataan saya, tapi sepertinya mengerti kalau saya tengah ketakutan. Dia tersenyum, lalu menganggukkan kepala, “ayo naik...” sahutnya. Dia turun dan mempersilakan saya naik. Waaw,, susah sekali naiknya, bagaimana tidak pijakan kakinya setinggi dada saya. Saya gemetaran setelah berhasil naik dan duduk di samping sopir truk. Lalu saya menoleh menatap sopir dan takut-takut berkata “pak, maaf merepotkan, saya tadi salah naik bis, mau ke Jatinangor malah naik yang ke Jakarta...” tanpa disuruh cerita saya sudah meluncurkan kasus yang baru saja dialami.
                Sopirnya tersenyum, teduh sekali mukanya. Bapak-bapak paruh baya, saya teringat abi. Lalu sontak beristighfar, sepertinya bapak sopir ini tidak seperti dalam bayangan saya yang tadi. Lalu pandangan saya beralih pada abang-abang yang tadi menawari saya naik. Abang-abang ini juga kurus, tapi bersih. Saya tebak mungkin anaknya. Wajahnya juga teduh, tidak bringasan. Duuh, saya jadi semakin merasa bersalah.
                Lalu bapak sopir truk bicara : “iya neng, kuliah ya ke Jatinangor? Nanti naik angkot kuning di depan, terus turun di Padalarang, terus naik bis lagi ke Jatinangor...”
                Saya mengangguk-ngangguk seraya berkata “maaf ya pak jadi merepotkan...”
                Sopirnya tersenyum “ga apa-apa...” sahutnya. Saya hanya bisa manggut-manggut. Alhamdulillah ini memang pertolongan Allah .
                Tak lama, kurang lebih 10menit pertigaan jalan tempat lalu lalang angkot kuning nampak di depan mata (alhamdulillah naik truk, seandainya tidak mungkin baru sampai sekitar 20 menit. Alhamdulillah, sampai sudah, meski saya tahu petualangan berikutnya menanti di depan mata. Bagaimana tidak, saya sama sekali belum pernah menjamah tempat ini sebelumnya dan masalah lainnya adalah saya sendiri. I’m lonely... huhu...
                Saya turun dari bis sambil loncat, dan berteriak “haturnuhun pak...!” seraya melambaikan tangan. Bapak dan abangnya tersenyum sambil membalas lambaian tangan saya.
                Hffftt... Alhamdulillah setidaknya saya sampai di kota yang ada angkotnya. Tidak terlalu sepi. Saya menunggu angkot sambil memikirkan kejadian beberapa menit yang lalu. Sunguh-sungguh benar, manusia tidak ada yang memiliki kuasa apapun terhadap rencana yang telah di buat. Ada Tangan yang tak tergapai yang telah Mengatur Segala Sesuatunya dengan amat cantik.
                Jadi apalagi yang tengah kau risaukan? Ingatlah hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenang... J

*perjuangan menuju bumi jihad Jatinangor –mumtaz’11

Senin, 21 November 2011

Tentang Kita


Agustus 2009 adalah awal kita jumpa. Tapi tak langsung bertemu antara sesama. Dan biarlah sang waktu yang menjawab seberapa kuat Rabithah mengikat kita.
            Adalah dakwah namanya bila memiliki 3 karakteristik: panjang jalannya, sulit dan penuh pengorbanan di dalamnya, dan sedikit pengikutnya. Lalu kita belajar tentang semua itu. Aku, kamu, dan mereka adalah ‘pengambil resiko’ itu. Tapi ingin sekali kuyakinkan pada kalian, bahwa memang bukan kita yang memilih jalan ini, melainkan jalan ini yang telah memilih kita.
            Dan 2 tahun mungkin adalah waktu yang cukup untuk mengukur niatan-niatan di hati-hati kita. Dahulu yang begitu lugu kita menuruti kemauan kakak-kakak tingkat kita (mungkin ada juga keinginan-keinginan kita sendiri) untuk mau bersusah-susah ikut DM 1 KAMMI. Training pertama di awal perkuliahan kita. Wallahua’lam seperti apa di benak-benak kalian tentang KAMMI itu sendiri. Tapi aku punya cerita indah lewat KAMMI.
            Mengapa harus KAMMI? Mungkin memang fakultas-lah yang terlebih dahulu mengenalkan kita satu sama lain. Namun di KAMMI (tepatnya saat DM1) aku merasa ikatan kita diperkuat. Lewat pertanyaan yang terlontar, berapa jumlah antum? Hendak apa antum di sini? Apa modal antum? Dan tentang kesiapan-kesiapan kita dalam misi dakwah yang sebelumnya telah direcoki pada kita (masih ingat materi-materi DM1 kita?). juga tentang ikrar kita dengan cucuran air mata tak berhenti.
            Jika ada seribu orang yang berjihad di jalan Allah, maka salah satunya adalah aku
            Jika ada seratus orang yang berjihad di jalan Allah, maka salah satunya adalah aku
            Jika ada sepuluh orang yang berjihad di jalan Allah, maka salah satunya adalah aku
            Jika hanya ada satu orang yang berjihad di jalan Allah, maka itu adalah aku
            Dan jika tidak ada lagi yang berjihad di jalan Allah, maka saksikanlah bahwa aku telah syahid
(pagi hari di salah satu hutan di Kiara Payung)
            Gemakanlah ikrar tersebut di relung-relung hati kita wahai sahabat. Jalan ini masih sangat panjang. Tak memandang seberapa pun keletihan kita yang teramat sangat. Benarlah perkataan bahwa istirahatnya seorang mukmin adalah kelak di Jannah-Nya.
            Bila ternyata kesibukan kita telah menjelma nyata di antara hari-hari kalian, aku tahu kita teramat lelah, tertekan, menggalau dsb. Karena akupun merasakan hal yang sama persis atau bahkan lebih. Namun di sinilah kita saat ini, masih selalu bersama. Menguatkan semangat yang memudar, meluruskan niat-niat yang berbelok, atau sekedar berbagi senyum indah untuk kebahagiaan di antara kita.
            Lalu, apabila ternyata kita sudah teramat lelah, atau jenuh dengan keadaan. Maka berhentilah sejenak, bukan berhenti untuk selamanya. Berhentilah untuk kembali merenung, berkontemplasi terhadap apa yang tengah kita lakukan saat ini. Membenahi keadaan hati kita, menguatkan kembali pundak-pundak kita, dan mempersiapkan bekal-bekal kita untuk kemudian melanjutkan perjuangan ini.
            “mereka mempunyai mimpi-mimpi besar, tetapi pikiran mereka tercurahkan sepenuhnya pada kerja. Sesekali mereka menatap ke langit untuk menyegarkan ingatan pada misi besar mereka. Namujn setelah itu mereka menyeka keringat da bekerja kembali” (Anis Matta)
            Tak inginkah kita seperti mereka sahabatku? Aku yakin kita juga adalah para pemimpi besar itu. Mimpi tentang peradaban besar kejayaan islam. Dan itu tidaklah hanya sekedar mimpi, karena saat ini, disini kita tengah menjadi bagian dari motor-motor penggerak terwujudnya mimpi-mimpi besar itu.
            Maka dipenghujung tulisan ini, yang ingin kukatakan adalah, bahwa aku senantiasa bangga pada kerja-kerja nyata yang telah kita lakukan. Biarlah pedih itu, sakit itu, lelah itu, berat itu, Allah saja yang menggantinya dengan pengganti yang jauh lebih baik daripada dunia dan seisinya, yaitu jannah-Nya. Dan semoga Allah pun ridha dengan semuanya. Ammiin..

Kembali menguatkan Rabithah di antara kita –Mumtaz’11

Rabu, 14 September 2011

Sebuah Strategi Dan Perjuangan Politik Nabi Saw. (Resensi Buku Manhaj Haraki)


Kita percaya bahwa sejarah bukan hanya cerita tentang serpihan peristiwa masa lalu, namun rangkaian kehidupan umat manusia itu juga memberikan pelajaran tak terperi pada bangsa-bangsa yang datang sesudahnya. Bila al-Qur'an banyak berkisah tentang umat-umat masa lalu, dan hadits pun banyak merekam beragam peristiwa penting dalam perjuangan Islam, maka semua itu cukup menjadi landasan bagi kita untuk memberikan porsi kajian yang besar pada sirah , lebih-lebih sirah nabawiyah (narasi kehidupan Nabi).
Manhaj Haraki adalah salah satu ‘kitab’ penting pelecut semangat generasi pergerakan kontemporer.  Buku ini memberikan jawaban tentang pendekatan ideal yang dapat diterapkan Harakah Islam Kontemporer dalam kondisi kekinian.  Oleh karena itu ruh yang ada di dalam buku ini juga dapat merasuki ruh-ruh da’i pergerakan masa kini.
ketika banyak buku-buku shirah bermunculan, buku ini dapat menjadi rujukan utama karena tak banyak, Di sinilah peran penting yang dimainkan buku sebesar Manhaj Haraki ini. Sejarah yang ditulis da'i mujahid ini menampilkan sosok yang jauh berbeda dengan para penulis “ilmiah” pada umumnya. Penghayatan terhadap ruhul jihad dalam kehidupan Rasulullah merupakan modal utamanya. Hal ini karena mereka berada pada satu alur yang sama dengan Rasulullah, yaitu harakah dan dakwah. Maka penggambaran yang mereka sajikan bukan lagi masalah kronologis belaka, tetapi sudah masuk pada isi pembahasan yang mengasyikkan dan sangat bermanfaat bagi dakwah dan pergerakan.
Dalam jilid pertama buku ini, ada empat periode yang dibahas tuntas oleh Munir Muhammad Ghadban. Pertama, periode berdakwah secara sembunyi-sembunyi dan merahasiakan struktur organisasi. Kedua, berdakwah secara terang-terangan dan (tetap) merahasiakan struktur organisasi. Ketiga, mendirikan negara. Keempat, negara dan penguatan pilar-pilarnya.
Ketika banyak pergerakan Islam kontemporer layu sebelum berkembang, tumbang dan berguguran, buku ini insya Allah memberikan suntikan energi yang dahsyat sekali. Harus diakui, kitab ini menjadi bacaan ‘wajib' bagi pada aktivis da‘wah dan Harakah Islam, serta para peminat sejarah Islam. Juga menjadi bacaan yang bermutu bagi kaum muslimin pada umumnya. Karena kitab ini nyaris sempurna dalam mengupas dan merunut manhaj haraki atau langkah-langkah terprogram yang ditempuh Nabi saw. dalam gerakan dakwahnya, sejak kenabiannya sampai berpulang kepada Allah.
Jika kita ingin agar gerakan Islam yang kita lakukan berjalan secara benar, maka kita harus melacak tahapan-tahapan pergerakan Rasulullah langkah demi langkah serta mengikuti langkah-langkah tersebut. Allah berfirman: “Sesungguh-nya telah ada pada diri Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu, (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat” (al-Ahzab: 21).
Dan buku ini adalah jawabannya. Wallahua’lam.