Kau ingin tahu bagaimana rasanya duduk kurang lebih 4,5 jam di stasiun
kereta api, dan menatap lalu lalang pergi dan datangnya kereta api dari dan
menuju berbagai jurusan. Exactly, amazing...! sejak dahulu mungkin aku memang
tergila-gila pada kereta api, sebodo mau kelas ekonomi, eksekutif, ataupun
bisnis. Tapi karena aku termasuk dalam golongan bangsa proletar, jadi cukup
lebih nyaman dengan kereta ekonomi. Hehe.. J
Cerita pun kembali bermula...
Di Selasa luar biasa, tepat tanggal 7 februari 2011. Aku memulai
petuangan—tepatnya berkeinginan untuk memulai petualangan. Pagi yang dingin di
kota Sukabumi, jarum jam menunjukkan pukul 03.00 WIB, rumah sudah menghangat.
Ummi bangun paling pertama, lalu langsung sigap bergerak mengomando kami—aku, dan
kakakku fita. Kami bersiap menuju satu cita, aku dan fita berniat untuk
berangkat ke rumah nenek di Banyuwangi. Biar kuceritakan terlebih dahulu di
mana kira-kira letak kota Banyuwangi tersebut. Banyuwangi adalah kota paling
timur dari pulau Jawa, ia adalah kota penghabisan. Dan tinggalah kau
menyeberang selat Bali apabila ingin menuju pulau dewata tersebut. Jarak
Sukabumi-Banyuwangi sekitar 6.666 KM, dicapai sekitar 2 hari 1 malam. Jadi
andaikan kau berangkat hari ini pagi maka kau akan sampai kota Banyuwangi sore
keesokan harinya. Tentulah bukan perjalanan yang mudah bagi kami (perempuan
dua-duanya) menggunakan kendaraan yang kusebut milik kaum proletar tadi. Tapi
semua itu tak menyurutkan niatku meski seujung kuku. Malah semakin anganku
membayangkan perjalanan yang exited, keren, penuh petualangan.
Dengan menggunakan kereta, kami tidak serta merta sampai ditujuan
sekaligus (pastinya nyambung-nyambung). Pertama kami akan menggunakan kereta
Sukabumi—Bogor, lalu Bogor—Jakarta Kota, lalu Jakarta—Surabaya, terakhir
Surabaya—Banyuwangi. Sampailah di rumah nenek tercinta. Dan memang kamilah
mungkin sebaik-baik perencana, tetapi Allah jualah yang menentukan.
Keberangkatan kami dari stasiun Cisaat tepat setelah sholat Shubuh.
Ummi sudah seperti kepiting, merah mukanya saking bersemangat menyiapkan semua
keperluan kami. Kuakui, aku sama sekali tidak menyiapkan apa-apa, bahkan
packing barang sendiri pun dilakukan oleh Fita. Ummi menyiapkan makanan kami,
minum, obat-obatan, chargeran HP, bahkan hingga kaus kaki—tipikal emak-emak
repot JV.
Tibalah keberangkatan, ummi melepas seperti biasanya, setelah aku meraih
tangannya dan menciumnya ummi akan meraih wajahku mencium kedua belah pipi dan
ubun-ubunku. Kebiasaan yang akan menyeruakkan haru di dada. Aku melambaikan
tangan. Berdadah-dadah.
Kereta pertama pukul 5 pagi, bergerak dengan ayunan seirama. Aku
benar-benar menikmati, kupikir-pikir sudah sekitar 2,5 tahun aku tidak naik
kereta. Dan sekarang kembali menaikinya, kenikmatan yang patut disyukuri bukan
begitu?
Singkat cerita kami sampai di stasiun Jakarta, langsung menuju loket
membeli tiket kereta bangsa proletar, ternyata aku langsung mendapatkan
kejutan: semua tiket kereta bangsa proletar habis. Tidaaakk... aku geleng-geleng
kepala, benarkah demikian? Setelah usut punya usut, tanya sana-sini,
kasak-kusuk, diketahuilah bahwa sekarang pemesanan tiket harus jauh-jauh hari,
apabila tidak jauh-jauh hari maka tiket akan habis. Perapihan administrasi dan
pelayanan PJKA. Lemaslah lutut kami. Batal berangkat? Yaah... mengecewakan.
Setelah tanya sana-sini, kami dapatkan informasi untuk mengejar tiket
kelas bisnis di stasiun Senen, barangkali masih ada, mungkin bisa dikejar.
Secercah harapan bagi kami, maka melesatlah kami menuju stasiun Senen. Tapi
mungkin sudah ketentuan Allah aku tidak berangkat, di perjalanan dari stasiun
Jakarta Kota ke stasiun Senen aku menerima beberapa SMS, salah satunya adalah
mengenai kelanjutan akademikku—status heregistrasiku yang belum terbayar
membuat beberapa pihak menyarankan untuk segera mengurus di kampus. Aku lemas,
ini tidak seperti dugaanku.
Akhirnya, dengan patah-patah kujelaskan pada Fita, bahwa esok hari aku
harus balik ke kampus. Fita kala dikabari demikian, dia termangu. Sungguh sedih
apabila hanya jadi berangkat sendiri. Aku membesarkan hatinya, daripada tidak
ada yang berangkat sama sekali, mending salah satu diantaranya berangkat.
Kudorong dia agar mau. Kakakku sebenarnya bukan tipikal penakut, ia pernah
menjelajahi kuningan—surabaya sendiri. Yah, memang mental-mental kami,
anak-anak abi dan ummi memang mental-mental fantasyiru fil ardh. Tapi, tak
dapat disangkal ia agak ragu, liburan kali ini tak akan berjalan mulus apabila
hanya dilalui sendiri tanpa aku, adiknya. “trip alone, o my God...” lirihnya
sampai ke telingaku.
Sesampai di stasiun Senen, kami langsung menuju loket, menanyakan
ketersediaan tiket kereta bisnis Gumarang, dengan hati harap dan cemas.
Ternyata ada... alhamdulillah, syukurku. Kami tanyakan kapan kereta berangkat
dan tiba di Surabaya, ternyata sang kereta baru datang jam 18.00 dan tiba di
stasiun Pasar Turi-Surabaya pukul 06.00. wooow, kulirik jam, kini baru jam 13
lewat sedikit. Aku geleng-geleng kepala, menunggu hampir 5 jam di sini?
Setidaknya aku harus melihat keadaan Fita di kereta itu (meski keretanya oke,
tetep aja musti aku cek). Fita sebenarnya oke saja aku tinggalkan pulang, tapi
aku tidak tega.
Akhirnya cerita indah ini pun terjadi. Menunggu di tepian jalur 1
stasiun Senen. Ada hampir 30 lebih kereta datang dan pergi selama aku di sana.
Dari kereta terbagus executive express, Commuter Line, hingga ekonomi kelas
teri yang asli berdesak-desakkan, aku geleng-geleng kepala. Puas sekali aku di
sana, menikmati angin kotor stasiun di tengah kota Jakarta, menerbangkan debu-debu
kehidupan. Ini asli, tentang cerita anak manusia. Ada ibu-ibu dengan
anak-anaknya, seorang pemuda dengan ibunya (yang ini agak perlente), seorang
ayah dengan barang di punggungnya, dan tentu saja para karyawan yang begitu
banyak kulihat (iyalah, sore hari begini mereka keluar dari kantornya
masing-masing dan pulang menuju Bogor biasanya).
Aku kenyang sekali melihat keadaan realitas ini. Itulah kukatakan aku
begitu menyukai melihat keadaan asli kehidupan di tengah kota, menampakkan
semua sisi kehidupan manusia-manusia dengan karakteristik mereka, dengan
kesibukan mereka masing-masing. Really-really inspiring...! akan tetapi, memang
setiap ibroh dan hikmah tidak semua orang dapat mengambilnya. Ia adalah bagian
dari kepekaan hati, kemampuan merasakan, tidak sekedar melihat tapi ia
melibatkan perasaan terdalam dari jiwa kita. Hehe, mendadak puitis. Tapi memang
begitulah buah dari keadaan yang mengharuskan kita lebih merasakan tentang
penderitaan rakyat kecil, yang bahkan untuk mendapatkan fasilitas sedikit kemudahan
saja demikian sulit. Bedakan dengan para borjuis yang boro-boro sadar dengan
keadaan rakyat kecil, menyadari bahwa jumlah rakyat Indonesia di bawah garis
kemiskinan saja tidak.
Dan di sinilah aku. Bagian dari anak bangsa yang mencoba untuk peduli.
Walau aku belum tahu seutuhnya apa yang harus dilakukan untuk memperbaiki
keadaan kacau bangsa ini. Tapi dengan lebih dini melek dan sadar akan keadaan
bangsa ini mungkin akan membangun jiwa dengan kepekaan yang lebih tinggi.
Itulah yang kuharapkan.
Jam 18.00 menjelang, Fita sudah ambil air wudhu, dia sholat di atas
kereta nanti. Aku mengantarnya menuju nomor kursi yang tertera di karcisnya.
Mendapati seorang ibu di sampingnya, aku agak lega. Semoga perjalanannya lebih
nyaman. Kereta tak berhenti lama, hanya sekitar 5 menit, aku turun.
Malambai-lambaikan tangan, menahan sesak di dada. Aku tahu, Fita pun tengah
menahan perasaannya. Semoga engkau baik-baik di sana. J
Cerita berakhir dengan melangkahnya kakiku menaiki Commuter Line
tujuan akhir Bogor, lalu dilanjutkan menuju Sukabumi. Yippi, Allah Maha Tahu
yang terbaik. Kusiapkan tenagaku, esok subuhnya aku musti pergi ke bumi Jihad
Jatinangor. How bussy...
Cerita pun bermula, satu hari
terik nan panas di kota Sukabumi. Adzan Dzuhur berkumandang keras dari
microphone masjid belakang rumah (secara masjid perumahan, suaranya
membahanananaaa... J), saya bersiaga untuk sholat dzuhur tak lupa
jamak dengan ashar (mau bepergian) mana tahu sampai ditujuan tidak kebagian
waktu untuk sholat ashar.
Waktunya pamitan,
Saya: ummi, abi, anakmu pergi kembali untuk
mencari ilmu... doakan selalu. Mohon doa restu UAS menanti di depan mata, lalu
dilanjutkan dengan KKN.
Abi: (mengangguk-ngangguk) ya nak...
Ummi: ummi mana yang tidak mendoakan anaknya
nak... apalagi raganya jauh dari ummi, pastilah ummi doakan, setiap sholat,
setiap pagi, sore, bahkan setiap ummi ingat kamu... (lalu mengecup kedua belah
pipiku dan ubun-ubunku)
Saya: (menahan tangis di penghujung mata,
*hampir meledak dong...) oke mi, mudah-mudahan diri ini bisa menjadi anak yang
membanggakan suatu saat kelak...
Nangkring di belakang motor abi (dianter
abi sampe nemu bis ke Bandung) saya memikirkan kata-kata ummi tadi. Selama 3
hari di rumah, saya selalu merasakan ada banyak energi yang bisa diserap
sebanyak-banyaknya dari para penghuni rumah. Terutama siapa lagi kalau bukan my
lovely mum... cintanya seakan tak pernah habis. Ribuan, jutaan, milyaran
(weitsss... agak lebai dikit) rasanya siap ia berikan untuk anak-anaknya. Meski
saya tahu, beliau tengah lelah, tengah sakit, tengah benyak pikiran... tapi
itulah, ia masih mempersiapkan senyum lebar saat melepas saya. Masih
menyediakan jutaan semangat, masih memberikan nasehat-nasehat pelapang dada.
Ah... alangkah beruntungnya.
Lalu, tibalah waktu berpamitan
dengan abi. Abi seperti biasa, tidak banyak berbicara. Tapi saya tahu hatinya
ramai bicara. Kulihat matanya, sayu penuh harap menatap anaknya (di bagian ini
saya kembali ingin menangis). Ah, abi jauh lebih hero di banding hero-hero
yang ada di masa sekarang. Tulus, dalam diam penuh cinta untuk kami.
Bis melaju, menyisakan debu
dibalik bayangan punggung abi, bye bye my
hero... doakan saya selalu... :’(
Singkat
cerita...
Saya hampir sampai di gerbang
tol Padalarang. Saatnya bersiap-siap untuk ganti bis. Saya terngiang-ngiang
perkataan ummi sebelum berangkat tadi. “naik Medal Siliwang aja, nanti bisa
langsung ke Jatinangor...”
Memang rizki tidak akan kemana,
bis Sangkuriang yang saya tumpangi berhenti tepat di samping Medal Siliwangi
yang diidam-idamkan tadi. Tanpa pikir panjang, saya langsung naik bis tersebut
setelah turun dari Sangkuriang. Saya berusaha tenang meski seisi bis hampir ¾
isinya adalah bapak-bapak. Koq bisa ya, batin saya dalam hati. Tapi keep it
slow, saya tenang-tenang saja.
Tak berapa lama bis mulai
berjalan memasuki jalan tol. Sekilas saya membaca papan aturan penggunaan jalan
tol bagi para pengendara, dilarang membuang segala bentuk barang di jalan tol. Saya
mengangguk-ngangguk memikirkan kalimat tersebut, ya iyalah pantas saja jalan
tol senantiasa bersih, rapi, dan tertata.
Sekitar 10 menit kemudian, sang
kondektur mulai menagih ongkos para penumpang. Saya kebetulan duduk paling
belakang, dan kondektur mulai menagih dari belakang. Saat tiba giliran saya
memberi uang (membayar maksudnya) saya bertanya “jatinangor berapa pak?”
Sang kondektur memasang tampang
kaget, saraya berkata “neng mau ke Jatinangor? Salah bis atuh, ini mah mau ke
Jakarta...” serentak saya jantungan (wiih,,, maksudnya adrenalin langsung
bekerja, darah mengalir deras dipompakan dari jantung yang berdebum-debum
bunyinya, lalu disusul dengan keringat yang tiba-tiba muncrat... *lebaaayyy)
Saya setengah mati kaget
“oiyaaaaa???!!! Ottokhaeee....” tanpa sadar saya berteriak.
Mang kondektur : “si eneng mah
kumaha, tadi ga nanya dulu sih, sudah sana ke depan, bilang sama sopir!”
Saya : (malu, blushing,
deg-degan, dsb, berjalan kedepan, menuju sopir bis) “pak saya mau ke
Jatinangor, salah bis... saya kira ini ke Jatinangor”
Seisi bis riuh, ada ibu-ibu yang
langsung komentar : “wah gimana neng, koq bisa sampai salah gitu sih...”
Saya : (pasrah...)
Sopir : “wah gimana neng, ini
udah di jalan tol...”
Saya : “pliiisss pak, jangan
bawa saya ke Jakarta...”
Sopir : “ya sudah, nanti di
depan ada gerbang tol Cikamuning, neng turun aja di situ, tapi ntar jalan
keluar lumayan jauh. Setelah itu cari angkot balik lagi ke Padalarang. Yah,
daripada ikut ke Jakarta, neng mau...?” (sambil pasang wajah datar, ya iyalah sopirnya
sedang fokus menatap datar ke jalan tol di depan mukanya)
Saya : (gemeteran) “yang bener
pak turun di tol?”
Sopir : “ya trus mau gimana?”
Ya sudahlah batin saya,
nasip-nasip... teringat plang aturan sebelum masuk gerbang tol tadi, dilarang
membuang barang dalam bentuk apapun di jalan tol. Berarti ini sopir sudah melanggar
aturan, membuang saya di jalan tol (saya juga barang kan? Memenuhi ruang dan
waktu begitu kalau kata orang fisika). Ya sudahlah, daripada di bawa ke Jakarta? Bisa
ga jadi ujian saya nanti (mau UAS bu...).
Tak lama gerbang tol Cikamuning
nampak di depan mata, saya bersiap turun. Saat pintu bis dibuka, saya turun
sambil menatap mang kondektur yang membukakan pintu bis, alangkah teganya...
membuang seorang penumpangnya di tengah jalan tol, perempuan pula. Saya
menghapus keraguan yang sempat menggumpal di dada.
Kemudian saya berjalan keluar
tol, saya melihat petugas tol menatap saya denga heran, tapi karena sibuk
menerima uang retribusi tol jadi mana sempat bertanya mungkin. Saya berjalan
terus, sepi, hanya beberapa truk yang keluar dari tol ini melalui gerbang
Cikamuning. Angin sore menampar-nampar pipi, kulihat jam menunjukkan pukul
17.05, beruntunglah tadi sudah menjamak sholat. Bagaimana tidak, sepertinya
perjalananku masih jauh.Beberapa
langkah dari gerbang tol Cikamuning, saya tertegun, alamaaakkk... jauh pisan.
Nampak jalan mengular di tengah-tengah sawah, tidak tahu ujungnya dimana. Tidak
tahu pula saya harus bertemu angkot kuning yang tadi ditunjukkan sopir bis
dimana. Ottokhaeee.... ummiiii, tak sadar bibirku mengeluh.
“Astaghfirullah...” saya
berusaha tenang, banyak-banyak istighfar, insyaAllah pertolongan Allah dekat,
Batin saya. Dan benar saja, tak lama saya berjalan sebuah truk pengangkut
barang (tronton lebih tepatnya), nampaklewat di samping saya baru keluar dari
gerbang tol. Lalu penumpang di depannya (saya tebak mungkin pegawai yang biasa
mengiringi sopir tronton) menyembulkan kepalanya dan berseru “neng, mau
kemana...? hayu ikut...!”
Takut-takut saya menatapnya, ya
Allah ini pertolongan atau permasalahan baru. Bagaimana tidak, yang saya pahami
abang-abang sopir truk besar itu biasanya bringasan, jarang mandi, tidak pernah
sholat, tukang mabuk, dsb yang jelek-jelek. Tapi saya menabah-nabahkan diri
sambil berdoa, ya Rabb jaga saya, mudah-mudahan ini adalah sebentuk
pertolonganMu...
Abangnya seperti tidak mendengar
perkataan saya, tapi sepertinya mengerti kalau saya tengah ketakutan. Dia
tersenyum, lalu menganggukkan kepala, “ayo naik...” sahutnya. Dia turun dan
mempersilakan saya naik. Waaw,, susah sekali naiknya, bagaimana tidak pijakan
kakinya setinggi dada saya. Saya gemetaran setelah berhasil naik dan duduk di
samping sopir truk. Lalu saya menoleh menatap sopir dan takut-takut berkata
“pak, maaf merepotkan, saya tadi salah naik bis, mau ke Jatinangor malah naik
yang ke Jakarta...” tanpa disuruh cerita saya sudah meluncurkan kasus yang baru
saja dialami.
Sopirnya tersenyum, teduh sekali
mukanya. Bapak-bapak paruh baya, saya teringat abi. Lalu sontak beristighfar,
sepertinya bapak sopir ini tidak seperti dalam bayangan saya yang tadi. Lalu
pandangan saya beralih pada abang-abang yang tadi menawari saya naik.
Abang-abang ini juga kurus, tapi bersih. Saya tebak mungkin anaknya. Wajahnya
juga teduh, tidak bringasan. Duuh, saya jadi semakin merasa bersalah.
Lalu bapak sopir truk bicara :
“iya neng, kuliah ya ke Jatinangor? Nanti naik angkot kuning di depan, terus
turun di Padalarang, terus naik bis lagi ke Jatinangor...”
Saya mengangguk-ngangguk seraya
berkata “maaf ya pak jadi merepotkan...”
Sopirnya tersenyum “ga
apa-apa...” sahutnya. Saya hanya bisa manggut-manggut. Alhamdulillah ini memang
pertolongan Allah .
Tak lama, kurang lebih 10menit
pertigaan jalan tempat lalu lalang angkot kuning nampak di depan mata (alhamdulillah
naik truk, seandainya tidak mungkin baru sampai sekitar 20 menit. Alhamdulillah,
sampai sudah, meski saya tahu petualangan berikutnya menanti di depan mata.
Bagaimana tidak, saya sama sekali belum pernah menjamah tempat ini sebelumnya
dan masalah lainnya adalah saya sendiri. I’m lonely... huhu...
Saya turun dari bis sambil
loncat, dan berteriak “haturnuhun pak...!” seraya melambaikan tangan. Bapak dan
abangnya tersenyum sambil membalas lambaian tangan saya.
Hffftt... Alhamdulillah
setidaknya saya sampai di kota yang ada angkotnya. Tidak terlalu sepi. Saya
menunggu angkot sambil memikirkan kejadian beberapa menit yang lalu.
Sunguh-sungguh benar, manusia tidak ada yang memiliki kuasa apapun terhadap
rencana yang telah di buat. Ada Tangan yang tak tergapai yang telah Mengatur
Segala Sesuatunya dengan amat cantik.
Jadi apalagi yang tengah kau
risaukan? Ingatlah hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenang... J
*perjuangan
menuju bumi jihad Jatinangor –mumtaz’11
Agustus
2009 adalah awal kita jumpa. Tapi tak langsung bertemu antara sesama. Dan
biarlah sang waktu yang menjawab seberapa kuat Rabithah mengikat kita.
Adalah dakwah namanya bila memiliki
3 karakteristik: panjang jalannya, sulit dan penuh pengorbanan di dalamnya, dan
sedikit pengikutnya. Lalu kita belajar tentang semua itu. Aku, kamu, dan mereka adalah
‘pengambil resiko’ itu. Tapi ingin sekali kuyakinkan pada kalian, bahwa memang
bukan kita yang memilih jalan ini, melainkan jalan ini yang telah memilih kita.
Dan 2 tahun mungkin adalah waktu
yang cukup untuk mengukur niatan-niatan di hati-hati kita. Dahulu yang begitu
lugu kita menuruti kemauan kakak-kakak tingkat kita (mungkin ada juga
keinginan-keinginan kita sendiri) untuk mau bersusah-susah ikut DM 1 KAMMI.
Training pertama di awal perkuliahan kita. Wallahua’lam seperti apa di
benak-benak kalian tentang KAMMI itu sendiri. Tapi aku punya cerita indah lewat
KAMMI.
Mengapa harus KAMMI? Mungkin memang
fakultas-lah yang terlebih dahulu mengenalkan kita satu sama lain. Namun di
KAMMI (tepatnya saat DM1) aku merasa ikatan kita diperkuat. Lewat pertanyaan
yang terlontar, berapa jumlah antum? Hendak apa antum di sini? Apa modal antum?
Dan tentang kesiapan-kesiapan kita dalam misi dakwah yang sebelumnya telah
direcoki pada kita (masih ingat materi-materi DM1 kita?). juga tentang ikrar
kita dengan cucuran air mata tak berhenti.
Jika ada seribu orang yang berjihad
di jalan Allah, maka salah satunya adalah aku
Jika ada seratus orang yang berjihad
di jalan Allah, maka salah satunya adalah aku
Jika ada sepuluh orang yang berjihad
di jalan Allah, maka salah satunya adalah aku
Jika hanya ada satu orang yang
berjihad di jalan Allah, maka itu adalah aku
Dan
jika tidak ada lagi yang berjihad di jalan Allah, maka saksikanlah bahwa aku
telah syahid
(pagi
hari di salah satu hutan di Kiara Payung)
Gemakanlah ikrar tersebut di relung-relung
hati kita wahai sahabat. Jalan ini masih sangat panjang. Tak memandang seberapa
pun keletihan kita yang teramat sangat. Benarlah perkataan bahwa istirahatnya
seorang mukmin adalah kelak di Jannah-Nya.
Bila ternyata kesibukan kita telah
menjelma nyata di antara hari-hari kalian, aku tahu kita teramat lelah,
tertekan, menggalau dsb. Karena akupun merasakan hal yang sama persis atau
bahkan lebih. Namun di sinilah kita saat ini, masih selalu bersama. Menguatkan
semangat yang memudar, meluruskan niat-niat yang berbelok, atau sekedar berbagi
senyum indah untuk kebahagiaan di antara kita.
Lalu, apabila ternyata kita sudah
teramat lelah, atau jenuh dengan keadaan. Maka berhentilah sejenak, bukan
berhenti untuk selamanya. Berhentilah untuk kembali merenung, berkontemplasi
terhadap apa yang tengah kita lakukan saat ini. Membenahi keadaan hati kita,
menguatkan kembali pundak-pundak kita, dan mempersiapkan bekal-bekal kita untuk
kemudian melanjutkan perjuangan ini.
“mereka mempunyai mimpi-mimpi besar,
tetapi pikiran mereka tercurahkan sepenuhnya pada kerja. Sesekali mereka
menatap ke langit untuk menyegarkan ingatan pada misi besar mereka. Namujn
setelah itu mereka menyeka keringat da bekerja kembali” (Anis Matta)
Tak inginkah kita seperti mereka
sahabatku? Aku yakin kita juga adalah para pemimpi besar itu. Mimpi tentang
peradaban besar kejayaan islam. Dan itu tidaklah hanya sekedar mimpi, karena
saat ini, disini kita tengah menjadi bagian dari motor-motor penggerak
terwujudnya mimpi-mimpi besar itu.
Maka dipenghujung tulisan ini, yang
ingin kukatakan adalah, bahwa aku senantiasa bangga pada kerja-kerja nyata yang
telah kita lakukan. Biarlah pedih itu, sakit itu, lelah itu, berat itu, Allah
saja yang menggantinya dengan pengganti yang jauh lebih baik daripada dunia dan
seisinya, yaitu jannah-Nya. Dan semoga Allah pun ridha dengan semuanya. Ammiin..
Kembali
menguatkan Rabithah di antara kita –Mumtaz’11
Kita percaya bahwa sejarah bukan hanya cerita tentang serpihan
peristiwa masa lalu, namun rangkaian kehidupan umat manusia itu juga memberikan
pelajaran tak terperi pada bangsa-bangsa yang datang sesudahnya. Bila al-Qur'an
banyak berkisah tentang umat-umat masa lalu, dan hadits pun banyak merekam
beragam peristiwa penting dalam perjuangan Islam, maka semua itu cukup menjadi
landasan bagi kita untuk memberikan porsi kajian yang besar pada sirah ,
lebih-lebih sirah nabawiyah (narasi kehidupan Nabi).
Manhaj Haraki adalah salah satu ‘kitab’ penting pelecut semangat
generasi pergerakan kontemporer.Buku
ini memberikan jawaban tentang pendekatan ideal yang dapat diterapkan Harakah
Islam Kontemporer dalam kondisi kekinian.Oleh karena itu ruh yang ada di dalam buku ini juga dapat merasuki
ruh-ruh da’i pergerakan masa kini.
ketika banyak buku-buku shirah bermunculan, buku ini dapat menjadi
rujukan utama karena tak banyak, Di sinilah peran penting yang dimainkan buku
sebesar Manhaj Haraki ini. Sejarah yang ditulis da'i mujahid ini menampilkan
sosok yang jauh berbeda dengan para penulis “ilmiah” pada umumnya. Penghayatan
terhadap ruhul jihad dalam kehidupan Rasulullah merupakan modal utamanya. Hal
ini karena mereka berada pada satu alur yang sama dengan Rasulullah, yaitu
harakah dan dakwah. Maka penggambaran yang mereka sajikan bukan lagi masalah
kronologis belaka, tetapi sudah masuk pada isi pembahasan yang mengasyikkan dan
sangat bermanfaat bagi dakwah dan pergerakan.
Dalam jilid pertama buku ini, ada empat periode yang dibahas tuntas
oleh Munir Muhammad Ghadban. Pertama, periode berdakwah secara
sembunyi-sembunyi dan merahasiakan struktur organisasi. Kedua, berdakwah secara
terang-terangan dan (tetap) merahasiakan struktur organisasi. Ketiga,
mendirikan negara. Keempat, negara dan penguatan pilar-pilarnya.
Ketika banyak pergerakan Islam kontemporer layu sebelum berkembang,
tumbang dan berguguran, buku ini insya Allah memberikan suntikan energi yang
dahsyat sekali. Harus diakui, kitab ini menjadi bacaan ‘wajib' bagi pada
aktivis da‘wah dan Harakah Islam, serta para peminat sejarah Islam. Juga
menjadi bacaan yang bermutu bagi kaum muslimin pada umumnya. Karena kitab ini
nyaris sempurna dalam mengupas dan merunut manhaj haraki atau langkah-langkah
terprogram yang ditempuh Nabi saw. dalam gerakan dakwahnya, sejak kenabiannya
sampai berpulang kepada Allah.
Jika kita ingin agar gerakan Islam yang kita lakukan berjalan
secara benar, maka kita harus melacak tahapan-tahapan pergerakan Rasulullah
langkah demi langkah serta mengikuti langkah-langkah tersebut. Allah berfirman:
“Sesungguh-nya telah ada pada diri Rasulullah itu suri teladan yang baik
bagimu, (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari
kiamat” (al-Ahzab: 21).