Rabu, 15 Februari 2012

7 Februari nan Indah


Kau ingin tahu bagaimana rasanya duduk kurang lebih 4,5 jam di stasiun kereta api, dan menatap lalu lalang pergi dan datangnya kereta api dari dan menuju berbagai jurusan. Exactly, amazing...! sejak dahulu mungkin aku memang tergila-gila pada kereta api, sebodo mau kelas ekonomi, eksekutif, ataupun bisnis. Tapi karena aku termasuk dalam golongan bangsa proletar, jadi cukup lebih nyaman dengan kereta ekonomi. Hehe.. J
Cerita pun kembali bermula...
Di Selasa luar biasa, tepat tanggal 7 februari 2011. Aku memulai petuangan—tepatnya berkeinginan untuk memulai petualangan. Pagi yang dingin di kota Sukabumi, jarum jam menunjukkan pukul 03.00 WIB, rumah sudah menghangat. Ummi bangun paling pertama, lalu langsung sigap bergerak mengomando kami—aku, dan kakakku fita. Kami bersiap menuju satu cita, aku dan fita berniat untuk berangkat ke rumah nenek di Banyuwangi. Biar kuceritakan terlebih dahulu di mana kira-kira letak kota Banyuwangi tersebut. Banyuwangi adalah kota paling timur dari pulau Jawa, ia adalah kota penghabisan. Dan tinggalah kau menyeberang selat Bali apabila ingin menuju pulau dewata tersebut. Jarak Sukabumi-Banyuwangi sekitar 6.666 KM, dicapai sekitar 2 hari 1 malam. Jadi andaikan kau berangkat hari ini pagi maka kau akan sampai kota Banyuwangi sore keesokan harinya. Tentulah bukan perjalanan yang mudah bagi kami (perempuan dua-duanya) menggunakan kendaraan yang kusebut milik kaum proletar tadi. Tapi semua itu tak menyurutkan niatku meski seujung kuku. Malah semakin anganku membayangkan perjalanan yang exited, keren, penuh petualangan.
Dengan menggunakan kereta, kami tidak serta merta sampai ditujuan sekaligus (pastinya nyambung-nyambung). Pertama kami akan menggunakan kereta Sukabumi—Bogor, lalu Bogor—Jakarta Kota, lalu Jakarta—Surabaya, terakhir Surabaya—Banyuwangi. Sampailah di rumah nenek tercinta. Dan memang kamilah mungkin sebaik-baik perencana, tetapi Allah jualah yang menentukan.
Keberangkatan kami dari stasiun Cisaat tepat setelah sholat Shubuh. Ummi sudah seperti kepiting, merah mukanya saking bersemangat menyiapkan semua keperluan kami. Kuakui, aku sama sekali tidak menyiapkan apa-apa, bahkan packing barang sendiri pun dilakukan oleh Fita. Ummi menyiapkan makanan kami, minum, obat-obatan, chargeran HP, bahkan hingga kaus kaki—tipikal emak-emak repot JV.
Tibalah keberangkatan, ummi melepas seperti biasanya, setelah aku meraih tangannya dan menciumnya ummi akan meraih wajahku mencium kedua belah pipi dan ubun-ubunku. Kebiasaan yang akan menyeruakkan haru di dada. Aku melambaikan tangan. Berdadah-dadah.
Kereta pertama pukul 5 pagi, bergerak dengan ayunan seirama. Aku benar-benar menikmati, kupikir-pikir sudah sekitar 2,5 tahun aku tidak naik kereta. Dan sekarang kembali menaikinya, kenikmatan yang patut disyukuri bukan begitu?
Singkat cerita kami sampai di stasiun Jakarta, langsung menuju loket membeli tiket kereta bangsa proletar, ternyata aku langsung mendapatkan kejutan: semua tiket kereta bangsa proletar habis. Tidaaakk... aku geleng-geleng kepala, benarkah demikian? Setelah usut punya usut, tanya sana-sini, kasak-kusuk, diketahuilah bahwa sekarang pemesanan tiket harus jauh-jauh hari, apabila tidak jauh-jauh hari maka tiket akan habis. Perapihan administrasi dan pelayanan PJKA. Lemaslah lutut kami. Batal berangkat? Yaah... mengecewakan.
Setelah tanya sana-sini, kami dapatkan informasi untuk mengejar tiket kelas bisnis di stasiun Senen, barangkali masih ada, mungkin bisa dikejar. Secercah harapan bagi kami, maka melesatlah kami menuju stasiun Senen. Tapi mungkin sudah ketentuan Allah aku tidak berangkat, di perjalanan dari stasiun Jakarta Kota ke stasiun Senen aku menerima beberapa SMS, salah satunya adalah mengenai kelanjutan akademikku—status heregistrasiku yang belum terbayar membuat beberapa pihak menyarankan untuk segera mengurus di kampus. Aku lemas, ini tidak seperti dugaanku.
Akhirnya, dengan patah-patah kujelaskan pada Fita, bahwa esok hari aku harus balik ke kampus. Fita kala dikabari demikian, dia termangu. Sungguh sedih apabila hanya jadi berangkat sendiri. Aku membesarkan hatinya, daripada tidak ada yang berangkat sama sekali, mending salah satu diantaranya berangkat. Kudorong dia agar mau. Kakakku sebenarnya bukan tipikal penakut, ia pernah menjelajahi kuningan—surabaya sendiri. Yah, memang mental-mental kami, anak-anak abi dan ummi memang mental-mental fantasyiru fil ardh. Tapi, tak dapat disangkal ia agak ragu, liburan kali ini tak akan berjalan mulus apabila hanya dilalui sendiri tanpa aku, adiknya. “trip alone, o my God...” lirihnya sampai ke telingaku.
Sesampai di stasiun Senen, kami langsung menuju loket, menanyakan ketersediaan tiket kereta bisnis Gumarang, dengan hati harap dan cemas. Ternyata ada... alhamdulillah, syukurku. Kami tanyakan kapan kereta berangkat dan tiba di Surabaya, ternyata sang kereta baru datang jam 18.00 dan tiba di stasiun Pasar Turi-Surabaya pukul 06.00. wooow, kulirik jam, kini baru jam 13 lewat sedikit. Aku geleng-geleng kepala, menunggu hampir 5 jam di sini? Setidaknya aku harus melihat keadaan Fita di kereta itu (meski keretanya oke, tetep aja musti aku cek). Fita sebenarnya oke saja aku tinggalkan pulang, tapi aku tidak tega.
Akhirnya cerita indah ini pun terjadi. Menunggu di tepian jalur 1 stasiun Senen. Ada hampir 30 lebih kereta datang dan pergi selama aku di sana. Dari kereta terbagus executive express, Commuter Line, hingga ekonomi kelas teri yang asli berdesak-desakkan, aku geleng-geleng kepala. Puas sekali aku di sana, menikmati angin kotor stasiun di tengah kota Jakarta, menerbangkan debu-debu kehidupan. Ini asli, tentang cerita anak manusia. Ada ibu-ibu dengan anak-anaknya, seorang pemuda dengan ibunya (yang ini agak perlente), seorang ayah dengan barang di punggungnya, dan tentu saja para karyawan yang begitu banyak kulihat (iyalah, sore hari begini mereka keluar dari kantornya masing-masing dan pulang menuju Bogor biasanya).
Aku kenyang sekali melihat keadaan realitas ini. Itulah kukatakan aku begitu menyukai melihat keadaan asli kehidupan di tengah kota, menampakkan semua sisi kehidupan manusia-manusia dengan karakteristik mereka, dengan kesibukan mereka masing-masing. Really-really inspiring...! akan tetapi, memang setiap ibroh dan hikmah tidak semua orang dapat mengambilnya. Ia adalah bagian dari kepekaan hati, kemampuan merasakan, tidak sekedar melihat tapi ia melibatkan perasaan terdalam dari jiwa kita. Hehe, mendadak puitis. Tapi memang begitulah buah dari keadaan yang mengharuskan kita lebih merasakan tentang penderitaan rakyat kecil, yang bahkan untuk mendapatkan fasilitas sedikit kemudahan saja demikian sulit. Bedakan dengan para borjuis yang boro-boro sadar dengan keadaan rakyat kecil, menyadari bahwa jumlah rakyat Indonesia di bawah garis kemiskinan saja tidak.
Dan di sinilah aku. Bagian dari anak bangsa yang mencoba untuk peduli. Walau aku belum tahu seutuhnya apa yang harus dilakukan untuk memperbaiki keadaan kacau bangsa ini. Tapi dengan lebih dini melek dan sadar akan keadaan bangsa ini mungkin akan membangun jiwa dengan kepekaan yang lebih tinggi. Itulah yang kuharapkan.
Jam 18.00 menjelang, Fita sudah ambil air wudhu, dia sholat di atas kereta nanti. Aku mengantarnya menuju nomor kursi yang tertera di karcisnya. Mendapati seorang ibu di sampingnya, aku agak lega. Semoga perjalanannya lebih nyaman. Kereta tak berhenti lama, hanya sekitar 5 menit, aku turun. Malambai-lambaikan tangan, menahan sesak di dada. Aku tahu, Fita pun tengah menahan perasaannya. Semoga engkau baik-baik di sana. J
Cerita berakhir dengan melangkahnya kakiku menaiki Commuter Line tujuan akhir Bogor, lalu dilanjutkan menuju Sukabumi. Yippi, Allah Maha Tahu yang terbaik. Kusiapkan tenagaku, esok subuhnya aku musti pergi ke bumi Jihad Jatinangor. How bussy...
Semoga Allah mudahkan... J

1 komentar:

  1. Gue baru bacaa...

    Yampuunn ada tulisan ini toh, how long time ago..

    BalasHapus