Kau ingin tahu bagaimana rasanya duduk kurang lebih 4,5 jam di stasiun
kereta api, dan menatap lalu lalang pergi dan datangnya kereta api dari dan
menuju berbagai jurusan. Exactly, amazing...! sejak dahulu mungkin aku memang
tergila-gila pada kereta api, sebodo mau kelas ekonomi, eksekutif, ataupun
bisnis. Tapi karena aku termasuk dalam golongan bangsa proletar, jadi cukup
lebih nyaman dengan kereta ekonomi. Hehe.. J
Cerita pun kembali bermula...
Di Selasa luar biasa, tepat tanggal 7 februari 2011. Aku memulai
petuangan—tepatnya berkeinginan untuk memulai petualangan. Pagi yang dingin di
kota Sukabumi, jarum jam menunjukkan pukul 03.00 WIB, rumah sudah menghangat.
Ummi bangun paling pertama, lalu langsung sigap bergerak mengomando kami—aku, dan
kakakku fita. Kami bersiap menuju satu cita, aku dan fita berniat untuk
berangkat ke rumah nenek di Banyuwangi. Biar kuceritakan terlebih dahulu di
mana kira-kira letak kota Banyuwangi tersebut. Banyuwangi adalah kota paling
timur dari pulau Jawa, ia adalah kota penghabisan. Dan tinggalah kau
menyeberang selat Bali apabila ingin menuju pulau dewata tersebut. Jarak
Sukabumi-Banyuwangi sekitar 6.666 KM, dicapai sekitar 2 hari 1 malam. Jadi
andaikan kau berangkat hari ini pagi maka kau akan sampai kota Banyuwangi sore
keesokan harinya. Tentulah bukan perjalanan yang mudah bagi kami (perempuan
dua-duanya) menggunakan kendaraan yang kusebut milik kaum proletar tadi. Tapi
semua itu tak menyurutkan niatku meski seujung kuku. Malah semakin anganku
membayangkan perjalanan yang exited, keren, penuh petualangan.
Dengan menggunakan kereta, kami tidak serta merta sampai ditujuan
sekaligus (pastinya nyambung-nyambung). Pertama kami akan menggunakan kereta
Sukabumi—Bogor, lalu Bogor—Jakarta Kota, lalu Jakarta—Surabaya, terakhir
Surabaya—Banyuwangi. Sampailah di rumah nenek tercinta. Dan memang kamilah
mungkin sebaik-baik perencana, tetapi Allah jualah yang menentukan.
Keberangkatan kami dari stasiun Cisaat tepat setelah sholat Shubuh.
Ummi sudah seperti kepiting, merah mukanya saking bersemangat menyiapkan semua
keperluan kami. Kuakui, aku sama sekali tidak menyiapkan apa-apa, bahkan
packing barang sendiri pun dilakukan oleh Fita. Ummi menyiapkan makanan kami,
minum, obat-obatan, chargeran HP, bahkan hingga kaus kaki—tipikal emak-emak
repot JV.
Tibalah keberangkatan, ummi melepas seperti biasanya, setelah aku meraih
tangannya dan menciumnya ummi akan meraih wajahku mencium kedua belah pipi dan
ubun-ubunku. Kebiasaan yang akan menyeruakkan haru di dada. Aku melambaikan
tangan. Berdadah-dadah.
Kereta pertama pukul 5 pagi, bergerak dengan ayunan seirama. Aku
benar-benar menikmati, kupikir-pikir sudah sekitar 2,5 tahun aku tidak naik
kereta. Dan sekarang kembali menaikinya, kenikmatan yang patut disyukuri bukan
begitu?
Singkat cerita kami sampai di stasiun Jakarta, langsung menuju loket
membeli tiket kereta bangsa proletar, ternyata aku langsung mendapatkan
kejutan: semua tiket kereta bangsa proletar habis. Tidaaakk... aku geleng-geleng
kepala, benarkah demikian? Setelah usut punya usut, tanya sana-sini,
kasak-kusuk, diketahuilah bahwa sekarang pemesanan tiket harus jauh-jauh hari,
apabila tidak jauh-jauh hari maka tiket akan habis. Perapihan administrasi dan
pelayanan PJKA. Lemaslah lutut kami. Batal berangkat? Yaah... mengecewakan.
Setelah tanya sana-sini, kami dapatkan informasi untuk mengejar tiket
kelas bisnis di stasiun Senen, barangkali masih ada, mungkin bisa dikejar.
Secercah harapan bagi kami, maka melesatlah kami menuju stasiun Senen. Tapi
mungkin sudah ketentuan Allah aku tidak berangkat, di perjalanan dari stasiun
Jakarta Kota ke stasiun Senen aku menerima beberapa SMS, salah satunya adalah
mengenai kelanjutan akademikku—status heregistrasiku yang belum terbayar
membuat beberapa pihak menyarankan untuk segera mengurus di kampus. Aku lemas,
ini tidak seperti dugaanku.
Akhirnya, dengan patah-patah kujelaskan pada Fita, bahwa esok hari aku
harus balik ke kampus. Fita kala dikabari demikian, dia termangu. Sungguh sedih
apabila hanya jadi berangkat sendiri. Aku membesarkan hatinya, daripada tidak
ada yang berangkat sama sekali, mending salah satu diantaranya berangkat.
Kudorong dia agar mau. Kakakku sebenarnya bukan tipikal penakut, ia pernah
menjelajahi kuningan—surabaya sendiri. Yah, memang mental-mental kami,
anak-anak abi dan ummi memang mental-mental fantasyiru fil ardh. Tapi, tak
dapat disangkal ia agak ragu, liburan kali ini tak akan berjalan mulus apabila
hanya dilalui sendiri tanpa aku, adiknya. “trip alone, o my God...” lirihnya
sampai ke telingaku.
Sesampai di stasiun Senen, kami langsung menuju loket, menanyakan
ketersediaan tiket kereta bisnis Gumarang, dengan hati harap dan cemas.
Ternyata ada... alhamdulillah, syukurku. Kami tanyakan kapan kereta berangkat
dan tiba di Surabaya, ternyata sang kereta baru datang jam 18.00 dan tiba di
stasiun Pasar Turi-Surabaya pukul 06.00. wooow, kulirik jam, kini baru jam 13
lewat sedikit. Aku geleng-geleng kepala, menunggu hampir 5 jam di sini?
Setidaknya aku harus melihat keadaan Fita di kereta itu (meski keretanya oke,
tetep aja musti aku cek). Fita sebenarnya oke saja aku tinggalkan pulang, tapi
aku tidak tega.
Akhirnya cerita indah ini pun terjadi. Menunggu di tepian jalur 1
stasiun Senen. Ada hampir 30 lebih kereta datang dan pergi selama aku di sana.
Dari kereta terbagus executive express, Commuter Line, hingga ekonomi kelas
teri yang asli berdesak-desakkan, aku geleng-geleng kepala. Puas sekali aku di
sana, menikmati angin kotor stasiun di tengah kota Jakarta, menerbangkan debu-debu
kehidupan. Ini asli, tentang cerita anak manusia. Ada ibu-ibu dengan
anak-anaknya, seorang pemuda dengan ibunya (yang ini agak perlente), seorang
ayah dengan barang di punggungnya, dan tentu saja para karyawan yang begitu
banyak kulihat (iyalah, sore hari begini mereka keluar dari kantornya
masing-masing dan pulang menuju Bogor biasanya).
Aku kenyang sekali melihat keadaan realitas ini. Itulah kukatakan aku
begitu menyukai melihat keadaan asli kehidupan di tengah kota, menampakkan
semua sisi kehidupan manusia-manusia dengan karakteristik mereka, dengan
kesibukan mereka masing-masing. Really-really inspiring...! akan tetapi, memang
setiap ibroh dan hikmah tidak semua orang dapat mengambilnya. Ia adalah bagian
dari kepekaan hati, kemampuan merasakan, tidak sekedar melihat tapi ia
melibatkan perasaan terdalam dari jiwa kita. Hehe, mendadak puitis. Tapi memang
begitulah buah dari keadaan yang mengharuskan kita lebih merasakan tentang
penderitaan rakyat kecil, yang bahkan untuk mendapatkan fasilitas sedikit kemudahan
saja demikian sulit. Bedakan dengan para borjuis yang boro-boro sadar dengan
keadaan rakyat kecil, menyadari bahwa jumlah rakyat Indonesia di bawah garis
kemiskinan saja tidak.
Dan di sinilah aku. Bagian dari anak bangsa yang mencoba untuk peduli.
Walau aku belum tahu seutuhnya apa yang harus dilakukan untuk memperbaiki
keadaan kacau bangsa ini. Tapi dengan lebih dini melek dan sadar akan keadaan
bangsa ini mungkin akan membangun jiwa dengan kepekaan yang lebih tinggi.
Itulah yang kuharapkan.
Jam 18.00 menjelang, Fita sudah ambil air wudhu, dia sholat di atas
kereta nanti. Aku mengantarnya menuju nomor kursi yang tertera di karcisnya.
Mendapati seorang ibu di sampingnya, aku agak lega. Semoga perjalanannya lebih
nyaman. Kereta tak berhenti lama, hanya sekitar 5 menit, aku turun.
Malambai-lambaikan tangan, menahan sesak di dada. Aku tahu, Fita pun tengah
menahan perasaannya. Semoga engkau baik-baik di sana. J
Cerita berakhir dengan melangkahnya kakiku menaiki Commuter Line
tujuan akhir Bogor, lalu dilanjutkan menuju Sukabumi. Yippi, Allah Maha Tahu
yang terbaik. Kusiapkan tenagaku, esok subuhnya aku musti pergi ke bumi Jihad
Jatinangor. How bussy...
Semoga Allah mudahkan... J