Cerita pun bermula, satu hari
terik nan panas di kota Sukabumi. Adzan Dzuhur berkumandang keras dari
microphone masjid belakang rumah (secara masjid perumahan, suaranya
membahanananaaa... J), saya bersiaga untuk sholat dzuhur tak lupa
jamak dengan ashar (mau bepergian) mana tahu sampai ditujuan tidak kebagian
waktu untuk sholat ashar.
Waktunya pamitan,
Saya : ummi, abi, anakmu pergi kembali untuk
mencari ilmu... doakan selalu. Mohon doa restu UAS menanti di depan mata, lalu
dilanjutkan dengan KKN.
Abi : (mengangguk-ngangguk) ya nak...
Ummi : ummi mana yang tidak mendoakan anaknya
nak... apalagi raganya jauh dari ummi, pastilah ummi doakan, setiap sholat,
setiap pagi, sore, bahkan setiap ummi ingat kamu... (lalu mengecup kedua belah
pipiku dan ubun-ubunku)
Saya : (menahan tangis di penghujung mata,
*hampir meledak dong...) oke mi, mudah-mudahan diri ini bisa menjadi anak yang
membanggakan suatu saat kelak...
Ummi : ammiin... hati-hati di jalan ya...
Saya : oke mi... bye bye...
assalamu’alaikuuum... berangkat...!!
Nangkring di belakang motor abi (dianter
abi sampe nemu bis ke Bandung) saya memikirkan kata-kata ummi tadi. Selama 3
hari di rumah, saya selalu merasakan ada banyak energi yang bisa diserap
sebanyak-banyaknya dari para penghuni rumah. Terutama siapa lagi kalau bukan my
lovely mum... cintanya seakan tak pernah habis. Ribuan, jutaan, milyaran
(weitsss... agak lebai dikit) rasanya siap ia berikan untuk anak-anaknya. Meski
saya tahu, beliau tengah lelah, tengah sakit, tengah benyak pikiran... tapi
itulah, ia masih mempersiapkan senyum lebar saat melepas saya. Masih
menyediakan jutaan semangat, masih memberikan nasehat-nasehat pelapang dada.
Ah... alangkah beruntungnya.
Lalu, tibalah waktu berpamitan
dengan abi. Abi seperti biasa, tidak banyak berbicara. Tapi saya tahu hatinya
ramai bicara. Kulihat matanya, sayu penuh harap menatap anaknya (di bagian ini
saya kembali ingin menangis). Ah, abi jauh lebih hero di banding hero-hero
yang ada di masa sekarang. Tulus, dalam diam penuh cinta untuk kami.
Bis melaju, menyisakan debu
dibalik bayangan punggung abi, bye bye my
hero... doakan saya selalu... :’(
Singkat
cerita...
Saya hampir sampai di gerbang
tol Padalarang. Saatnya bersiap-siap untuk ganti bis. Saya terngiang-ngiang
perkataan ummi sebelum berangkat tadi. “naik Medal Siliwang aja, nanti bisa
langsung ke Jatinangor...”
Memang rizki tidak akan kemana,
bis Sangkuriang yang saya tumpangi berhenti tepat di samping Medal Siliwangi
yang diidam-idamkan tadi. Tanpa pikir panjang, saya langsung naik bis tersebut
setelah turun dari Sangkuriang. Saya berusaha tenang meski seisi bis hampir ¾
isinya adalah bapak-bapak. Koq bisa ya, batin saya dalam hati. Tapi keep it
slow, saya tenang-tenang saja.
Tak berapa lama bis mulai
berjalan memasuki jalan tol. Sekilas saya membaca papan aturan penggunaan jalan
tol bagi para pengendara, dilarang membuang segala bentuk barang di jalan tol. Saya
mengangguk-ngangguk memikirkan kalimat tersebut, ya iyalah pantas saja jalan
tol senantiasa bersih, rapi, dan tertata.
Sekitar 10 menit kemudian, sang
kondektur mulai menagih ongkos para penumpang. Saya kebetulan duduk paling
belakang, dan kondektur mulai menagih dari belakang. Saat tiba giliran saya
memberi uang (membayar maksudnya) saya bertanya “jatinangor berapa pak?”
Sang kondektur memasang tampang
kaget, saraya berkata “neng mau ke Jatinangor? Salah bis atuh, ini mah mau ke
Jakarta...” serentak saya jantungan (wiih,,, maksudnya adrenalin langsung
bekerja, darah mengalir deras dipompakan dari jantung yang berdebum-debum
bunyinya, lalu disusul dengan keringat yang tiba-tiba muncrat... *lebaaayyy)
Saya setengah mati kaget
“oiyaaaaa???!!! Ottokhaeee....” tanpa sadar saya berteriak.
Mang kondektur : “si eneng mah
kumaha, tadi ga nanya dulu sih, sudah sana ke depan, bilang sama sopir!”
Saya : (malu, blushing,
deg-degan, dsb, berjalan kedepan, menuju sopir bis) “pak saya mau ke
Jatinangor, salah bis... saya kira ini ke Jatinangor”
Seisi bis riuh, ada ibu-ibu yang
langsung komentar : “wah gimana neng, koq bisa sampai salah gitu sih...”
Saya : (pasrah...)
Sopir : “wah gimana neng, ini
udah di jalan tol...”
Saya : “pliiisss pak, jangan
bawa saya ke Jakarta...”
Sopir : “ya sudah, nanti di
depan ada gerbang tol Cikamuning, neng turun aja di situ, tapi ntar jalan
keluar lumayan jauh. Setelah itu cari angkot balik lagi ke Padalarang. Yah,
daripada ikut ke Jakarta, neng mau...?” (sambil pasang wajah datar, ya iyalah sopirnya
sedang fokus menatap datar ke jalan tol di depan mukanya)
Saya : (gemeteran) “yang bener
pak turun di tol?”
Sopir : “ya trus mau gimana?”
Ya sudahlah batin saya,
nasip-nasip... teringat plang aturan sebelum masuk gerbang tol tadi, dilarang
membuang barang dalam bentuk apapun di jalan tol. Berarti ini sopir sudah melanggar
aturan, membuang saya di jalan tol (saya juga barang kan? Memenuhi ruang dan
waktu begitu kalau kata orang fisika). Ya sudahlah, daripada di bawa ke Jakarta? Bisa
ga jadi ujian saya nanti (mau UAS bu...).
Tak lama gerbang tol Cikamuning
nampak di depan mata, saya bersiap turun. Saat pintu bis dibuka, saya turun
sambil menatap mang kondektur yang membukakan pintu bis, alangkah teganya...
membuang seorang penumpangnya di tengah jalan tol, perempuan pula. Saya
menghapus keraguan yang sempat menggumpal di dada.
Kemudian saya berjalan keluar
tol, saya melihat petugas tol menatap saya denga heran, tapi karena sibuk
menerima uang retribusi tol jadi mana sempat bertanya mungkin. Saya berjalan
terus, sepi, hanya beberapa truk yang keluar dari tol ini melalui gerbang
Cikamuning. Angin sore menampar-nampar pipi, kulihat jam menunjukkan pukul
17.05, beruntunglah tadi sudah menjamak sholat. Bagaimana tidak, sepertinya
perjalananku masih jauh. Beberapa
langkah dari gerbang tol Cikamuning, saya tertegun, alamaaakkk... jauh pisan.
Nampak jalan mengular di tengah-tengah sawah, tidak tahu ujungnya dimana. Tidak
tahu pula saya harus bertemu angkot kuning yang tadi ditunjukkan sopir bis
dimana. Ottokhaeee.... ummiiii, tak sadar bibirku mengeluh.
“Astaghfirullah...” saya
berusaha tenang, banyak-banyak istighfar, insyaAllah pertolongan Allah dekat,
Batin saya. Dan benar saja, tak lama saya berjalan sebuah truk pengangkut
barang (tronton lebih tepatnya), nampaklewat di samping saya baru keluar dari
gerbang tol. Lalu penumpang di depannya (saya tebak mungkin pegawai yang biasa
mengiringi sopir tronton) menyembulkan kepalanya dan berseru “neng, mau
kemana...? hayu ikut...!”
Takut-takut saya menatapnya, ya
Allah ini pertolongan atau permasalahan baru. Bagaimana tidak, yang saya pahami
abang-abang sopir truk besar itu biasanya bringasan, jarang mandi, tidak pernah
sholat, tukang mabuk, dsb yang jelek-jelek. Tapi saya menabah-nabahkan diri
sambil berdoa, ya Rabb jaga saya, mudah-mudahan ini adalah sebentuk
pertolonganMu...
Saya berujar, setengah bergumam
“bb... bboleh naik gitu bang?”
Abangnya seperti tidak mendengar
perkataan saya, tapi sepertinya mengerti kalau saya tengah ketakutan. Dia
tersenyum, lalu menganggukkan kepala, “ayo naik...” sahutnya. Dia turun dan
mempersilakan saya naik. Waaw,, susah sekali naiknya, bagaimana tidak pijakan
kakinya setinggi dada saya. Saya gemetaran setelah berhasil naik dan duduk di
samping sopir truk. Lalu saya menoleh menatap sopir dan takut-takut berkata
“pak, maaf merepotkan, saya tadi salah naik bis, mau ke Jatinangor malah naik
yang ke Jakarta...” tanpa disuruh cerita saya sudah meluncurkan kasus yang baru
saja dialami.
Sopirnya tersenyum, teduh sekali
mukanya. Bapak-bapak paruh baya, saya teringat abi. Lalu sontak beristighfar,
sepertinya bapak sopir ini tidak seperti dalam bayangan saya yang tadi. Lalu
pandangan saya beralih pada abang-abang yang tadi menawari saya naik.
Abang-abang ini juga kurus, tapi bersih. Saya tebak mungkin anaknya. Wajahnya
juga teduh, tidak bringasan. Duuh, saya jadi semakin merasa bersalah.
Lalu bapak sopir truk bicara :
“iya neng, kuliah ya ke Jatinangor? Nanti naik angkot kuning di depan, terus
turun di Padalarang, terus naik bis lagi ke Jatinangor...”
Saya mengangguk-ngangguk seraya
berkata “maaf ya pak jadi merepotkan...”
Sopirnya tersenyum “ga
apa-apa...” sahutnya. Saya hanya bisa manggut-manggut. Alhamdulillah ini memang
pertolongan Allah .
Tak lama, kurang lebih 10menit
pertigaan jalan tempat lalu lalang angkot kuning nampak di depan mata (alhamdulillah
naik truk, seandainya tidak mungkin baru sampai sekitar 20 menit. Alhamdulillah,
sampai sudah, meski saya tahu petualangan berikutnya menanti di depan mata.
Bagaimana tidak, saya sama sekali belum pernah menjamah tempat ini sebelumnya
dan masalah lainnya adalah saya sendiri. I’m lonely... huhu...
Saya turun dari bis sambil
loncat, dan berteriak “haturnuhun pak...!” seraya melambaikan tangan. Bapak dan
abangnya tersenyum sambil membalas lambaian tangan saya.
Hffftt... Alhamdulillah
setidaknya saya sampai di kota yang ada angkotnya. Tidak terlalu sepi. Saya
menunggu angkot sambil memikirkan kejadian beberapa menit yang lalu.
Sunguh-sungguh benar, manusia tidak ada yang memiliki kuasa apapun terhadap
rencana yang telah di buat. Ada Tangan yang tak tergapai yang telah Mengatur
Segala Sesuatunya dengan amat cantik.
Jadi apalagi yang tengah kau
risaukan? Ingatlah hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenang... J
*perjuangan
menuju bumi jihad Jatinangor –mumtaz’11