Agustus
2009 adalah awal kita jumpa. Tapi tak langsung bertemu antara sesama. Dan
biarlah sang waktu yang menjawab seberapa kuat Rabithah mengikat kita.
Adalah dakwah namanya bila memiliki
3 karakteristik: panjang jalannya, sulit dan penuh pengorbanan di dalamnya, dan
sedikit pengikutnya. Lalu kita belajar tentang semua itu. Aku, kamu, dan mereka adalah
‘pengambil resiko’ itu. Tapi ingin sekali kuyakinkan pada kalian, bahwa memang
bukan kita yang memilih jalan ini, melainkan jalan ini yang telah memilih kita.
Dan 2 tahun mungkin adalah waktu
yang cukup untuk mengukur niatan-niatan di hati-hati kita. Dahulu yang begitu
lugu kita menuruti kemauan kakak-kakak tingkat kita (mungkin ada juga
keinginan-keinginan kita sendiri) untuk mau bersusah-susah ikut DM 1 KAMMI.
Training pertama di awal perkuliahan kita. Wallahua’lam seperti apa di
benak-benak kalian tentang KAMMI itu sendiri. Tapi aku punya cerita indah lewat
KAMMI.
Mengapa harus KAMMI? Mungkin memang
fakultas-lah yang terlebih dahulu mengenalkan kita satu sama lain. Namun di
KAMMI (tepatnya saat DM1) aku merasa ikatan kita diperkuat. Lewat pertanyaan
yang terlontar, berapa jumlah antum? Hendak apa antum di sini? Apa modal antum?
Dan tentang kesiapan-kesiapan kita dalam misi dakwah yang sebelumnya telah
direcoki pada kita (masih ingat materi-materi DM1 kita?). juga tentang ikrar
kita dengan cucuran air mata tak berhenti.
Jika ada seribu orang yang berjihad
di jalan Allah, maka salah satunya adalah aku
Jika ada seratus orang yang berjihad
di jalan Allah, maka salah satunya adalah aku
Jika ada sepuluh orang yang berjihad
di jalan Allah, maka salah satunya adalah aku
Jika hanya ada satu orang yang
berjihad di jalan Allah, maka itu adalah aku
Dan
jika tidak ada lagi yang berjihad di jalan Allah, maka saksikanlah bahwa aku
telah syahid
(pagi
hari di salah satu hutan di Kiara Payung)
Gemakanlah ikrar tersebut di relung-relung
hati kita wahai sahabat. Jalan ini masih sangat panjang. Tak memandang seberapa
pun keletihan kita yang teramat sangat. Benarlah perkataan bahwa istirahatnya
seorang mukmin adalah kelak di Jannah-Nya.
Bila ternyata kesibukan kita telah
menjelma nyata di antara hari-hari kalian, aku tahu kita teramat lelah,
tertekan, menggalau dsb. Karena akupun merasakan hal yang sama persis atau
bahkan lebih. Namun di sinilah kita saat ini, masih selalu bersama. Menguatkan
semangat yang memudar, meluruskan niat-niat yang berbelok, atau sekedar berbagi
senyum indah untuk kebahagiaan di antara kita.
Lalu, apabila ternyata kita sudah
teramat lelah, atau jenuh dengan keadaan. Maka berhentilah sejenak, bukan
berhenti untuk selamanya. Berhentilah untuk kembali merenung, berkontemplasi
terhadap apa yang tengah kita lakukan saat ini. Membenahi keadaan hati kita,
menguatkan kembali pundak-pundak kita, dan mempersiapkan bekal-bekal kita untuk
kemudian melanjutkan perjuangan ini.
“mereka mempunyai mimpi-mimpi besar,
tetapi pikiran mereka tercurahkan sepenuhnya pada kerja. Sesekali mereka
menatap ke langit untuk menyegarkan ingatan pada misi besar mereka. Namujn
setelah itu mereka menyeka keringat da bekerja kembali” (Anis Matta)
Tak inginkah kita seperti mereka
sahabatku? Aku yakin kita juga adalah para pemimpi besar itu. Mimpi tentang
peradaban besar kejayaan islam. Dan itu tidaklah hanya sekedar mimpi, karena
saat ini, disini kita tengah menjadi bagian dari motor-motor penggerak
terwujudnya mimpi-mimpi besar itu.
Maka dipenghujung tulisan ini, yang
ingin kukatakan adalah, bahwa aku senantiasa bangga pada kerja-kerja nyata yang
telah kita lakukan. Biarlah pedih itu, sakit itu, lelah itu, berat itu, Allah
saja yang menggantinya dengan pengganti yang jauh lebih baik daripada dunia dan
seisinya, yaitu jannah-Nya. Dan semoga Allah pun ridha dengan semuanya. Ammiin..
Kembali
menguatkan Rabithah di antara kita –Mumtaz’11